Jumat, 03 Mei 2013

Kanker Payudara Bisa Dicegah dengan Obat Penghambat Kinerja Estrogen Ini


Jakarta, Menurut sebuah studi wanita yang pernah mengidap kanker payudara kemudian sembuh masih berisiko lebih tinggi untuk terkena kanker kembali, apalagi jika payudaranya padat. Beruntung sebuah review baru menemukan bahwa obat yang dapat menghambat kinerja hormon estrogen (salah satu penyebab payudara memadat) terbukti dapat menurunkan risiko kanker payudara, bahkan hingga 10 tahun mendatang.

Secara rinci peneliti menemukan wanita yang telah memasuki masa post-menopause dan diminta mengonsumsi selective estrogen receptor modulators (SERMs) seperti tamoxifen, raloxifene, arzoxifene dan lasofoxifene 38 persen lebih kecil peluangnya untuk menderita kanker payudara jenis apapun dalam kurun waktu 10 tahun ke depan dibandingkan dengan wanita yang tidak mengonsumsi SERMs.

Kesimpulan itu diperoleh peneliti mengamati 9 studi yang melibatkan lebih dari 83.000 pasien wanita. Delapan studi diantaranya membandingkan konsumsi SERMs dengan plasebo, sedangkan satu studi sisanya membandingkan efektivitas raloxifene dan tamoxifen.

Dari situ peneliti menemukan 4,2 persen wanita yang mengonsumsi SERM mengidap kanker payudara, sedangkan wanita yang tak mengonsumsi apapun tapi mengidap kanker yang sama jumlahnya mencapai 6,3 persen. Bahkan penurunan risiko paling banyak terlihat pada pasien kanker payudara positif dengan reseptor estrogen, dimana kanker payudaranya disebabkan oleh estrogen.

"Review ini membuktikan obat-obatan jenis apapun yang tergolong ke dalam SERMs memang dapat mencegah kanker payudara pada wanita," simpul Dr. V. Craig Jordan, direktur onkologi dari Lombardi Comprehensive Cancer Center, Georgetown University, AS.

Jordan sendiri pernah melakukan sejumlah studi pada tahun 1970-an dan menemukan bahwa tamoxifen dapat mencegah perkembangan kanker pada kelenjar payudara tikus. Namun Jordan tidak terlibat dalam studi baru ini.

"Namun hanya tamoxifen dan raloxifene yang telah disetujui oleh FDA untuk mencegah kanker payudara. Dari keduanya pun hanya tamoxifen yang diperkenankan untuk digunakan pada wanita post-menopause yang berisiko tinggi terkena kanker payudara," tandas Jordan.

Masalahnya, obat-obatan ini juga menimbulkan sejumlah efek samping yang menyebabkan wanita justru enggan untuk mengonsumsinya. Efek samping yang dimaksud diantaranya munculnya gejala menopause, termasuk hot flashes dan vagina mengering.

Efek samping serius lain dari penggunaan SERMs adalah peningkatan risiko kanker endometrium atau dinding rahim. Diantara partisipan, kanker endometrium memang paling banyak ditemukan pada pasien yang mengonsumsi SERMs, tapi jumlahnya tak banyak atau sekitar 168 pasien saja. Selain itu, obat-obatan ini juga risiko deep-vein thrombosis (DVT).

Jordan pun menekankan bahwa dalam salah satu percobaan vital yang di-review studi ini, terbukti baik raloxifene maupun tamoxifen dapat mengurangi risiko kanker payudara pada wanita hingga 50 persen, tapi hanya wanita yang mengonsumsi tamoxifen saja yang terus memperlihatkan penurunan risiko setelah sempat berhenti meminum obat tersebut.

Studi baru ini juga menunjukkan bahwa hanya tamoxifen yang dapat menurunkan risiko ductal carcinoma in situ (kondisi pra-kanker berupa munculnya sel-sel abnormal pada saluran susu di payudara). "Obat lainnya tak mampu melakukan hal ini. Namun hingga kini tak ada pakar yang mengetahui mengapa hanya tamoxifen yang dapat benar-benar mengurangi DCIS," kata Jordan.

"Lebihbanyak yang percaya jika keuntungan mengonsumsi obat-obatan ini tidaklah sebanding dengan ketidaknyamanan yang akan mereka rasakan. Tapi saya kira inilah waktunya para wanita mempertimbangkan untuk mengambil keuntungan dari efek samping tersebut. Untuk itu mereka harus berkonsultasi dengan dokter tentang opsi apa saja yang dapat mereka ambil untuk mengobati kanker payudara yang dialaminya," catat Jordan.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Lancet.

http://health.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar